Senin, 18 Agustus 2008

IGO

Lahir di Bandung, 16 September 1974, dengan nama lengkap Teguh Setiabudi hasil buah kasih dari pasangan Yohanes Sunoto Heriwidodo & Maria Dartim.

Hijrah ke pulau Bali semasih berumur 1,5 tahun, bersama kedua orang tua dan sang kakak semata wayang: Didit Kilat Jati Waluyo. Mempelajari agama Hindu sepanjang duduk di bangku Sekolah Dasar no. 2 Dwijendra Denpasar. Lalu berpindah ke Kristen Katolik sesaat sebelum menginjak bangku SMP. Lengkap dengan tambahan nama baptis Jacob. Masa SMP adalah masa pembentukan pribadi mendasar. Baik tentang kegandrungan dengan musik maupun tentang arti sahabat.


Melanjutkan pendidikan di salah satu sekolah terpandang di Bali: SMAN 4 Denpasar. Mengambil jurusan Fisika karena kecintaannya pada bidang Matematika. Kebetulan saat itu berjumlah total 12 jam dalam satu minggu, termasuk jam pelajaran ekstra. Tak sia-sia. Menyudahi masa belajar SMA dengan membukukan angka sempurna di bidang Matematika pada selembar kertas yang populer disebut NEM. [Nilai Ebtanas - Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional - Murni]

Bila babak berikutnya menyeberang ke Jurusan Sastra Inggris - Fakultas Sastra - Universitas Udayana Bali, tentu bukan tanpa alasan. Biaya dan keluarga adalah faktor-faktor pembendung utama. Namun justru kampus tersebutlah yang kemudian banyak mendorong kegiatan berkesenian sekaligus pematangan manajemen pengelolaannya. Musik diletakan di urutan terdepan. Serangkaian acara diprakarsai dan digelar, salah satuya: 'Sastra Musik Unplugged', yang menjadi agenda tahunan senat fakultas sastra hingga saat ini.


Setelah resmi mengantongi gelar S1 di bulan Februari 1998 - yang banyak tertunda karena kesibukan bekerja dan berkesenian - perburuan ilmu berikutnya adalah dunia desain grafis dan marketing komunikasi. Sekolah lagi? huh! Pilihan itu sepertinya tak tercantum di daftar pilihan. Karena hanya ada satu pilihan: belajar sambil bekerja, mengais ilmu sambil meraup rejeki, menyerap teori sambil menelan realisasi. Tiga Grafis pimpinan Ade Adinata membukakan jalan lebar-lebar untuk keduanya. Dari manajemen produksi yang selalu terjepit waktu dan ekspektasi klien, hingga perancangan anggarannya. Mulai dari menghadapi komplain hingga mempresentasikan konsep baru untuk kelancaran usaha mereka. Segudang pengalaman yang tak bisa diukur dengan apapun.

Musik memanggil kembali. Kali ini bukan untuk kembali terjerumus dengan lagu-lagu yang cenderung sama di pub-pub seputaran Kuta, namun untuk menjawab tantangan akan karya original. Setahun tanpa status dan terlunta-lunta, Fish & Key mengundang untuk membentuk Telephone. Dan dari sini segalanya banyak berawal.